Disharmonisasi
Undang-Undang Yang Berkaitan Dengan Penanganan Sengketa Ekonomi Syari’ah di
Pengadilan
Penulis
:
H.
Abdul Halim M. Sholeh, Lc., M.Ec., M.H.
Drs.
H. Nanang Naisabur, M.H.
Abstrak
Pesatnya pertumbuhan
aset ekonomi syari’ah di Indonesia menimbulkan konskuensi logis bagi
meningkatnya sengketa ekonomi syari’ah. Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah
melalui jalur pengadilan merupakan wewenang absolut pengadilan agama. Hal ini
dikukuhkan dengan UU No. 3/2006 dan Putusan MK No. 93/PUU-X/2012. Namun disisi
lain masih terdapat gesekan kewenangan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan
Negeri dalam menengani sengketa ekonomi syari’ah yang ditimbulkan dari adanya
ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf
(i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal
61 dan Pasal 72 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57
UU Nomor 8 Tahun 1999, serta Pasal 1 angka 7 UU Nomor 37 Tahun 2004, yang sampai
saat ini masih belum terselesaikan sehingga masih menimbulkan ketidakpastian
hukum.
Kata
kunci : sengketa
ekonomi syari’ah, ketidakharmonisan, pengadilan agama, pengadilan negeri
I.
Pendahuluan
Sistem ekonomi syari’ah
dengan berbagai bentuknya, di antaranya perbankan syari’ah dan lembaga keuangan
syari’ah lainnya, telah mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal tersebut
merupakan efek positif dari telah terbuktinya sistem perbankan syari’ah ketika dihadapkan
dengan krisis moneter dipelbagai belahan dunia pada era tahun 1990-an sehingga
animo masyarakat dunia terhadap penerapan sistem ekonomi syari’ah semakin
meningkat.
Hal serupa juga terjadi
di Indonesia. Bahkan dalam kurun waktu tiga puluh tahunan aset lembaga keuangan
syari’ah di Indonesia per Oktober 2013 saja sudah mencapai Rp. 229.56 trilyun[1]
. Pertumbuhan aset tersebut juga diiringi dengan pertumbuhan jumlah nasabah dan
jumlah kelembagaan keuangan syari’ah di Indonesia. Dapat difahami dengan banyaknya
jumlah nasabah dan jumlah kelembagaan keuangan syari’ah ini maka kemungkinan
timbulnya sengketa di antara mereka juga makin besar. Selain dari sektor
perbankan syari’ah, sengketa ekonomi syari’ah juga dapat muncul dari sektor non
perbankan syari’ah, seperti antar individu yang sedang terikat kontrak ekonomi
syari’ah.
Banyaknya sengketa
ekonomi syari’ah ini perlu ada lembaga yang dapat dijadikan rujukan untuk
menyelesaikannya. Penyelesaian itu sendiri dapat melalui jalur non litigasi
seperti musyawarah dan mediasi perbankan, serta melalui jalur litigasi yaitu
melalui arbitrase dan lembaga peradilan.
Terbitnya Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama telah memberikan wewenang baru bagi lembaga Peradilan Agama
yaitu kewenangan menangani sengketa ekonomi syari’ah. Namun setelah UU No. 21
Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah terbit, maka timbul disharmonisasi antara
Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 dengan Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3
Tahun 2006 yang berdampak pada terjadinya dualisme kewenangan dalam menangani
sengketa perbankan syari’ah, yaitu peradilan agama dan peradilan umum sama-sama
berhak menerima, memeriksa, dan memutus perkara sengketa perbankan syari’ah.
Kemudian, dualisme
kewenangan tersebut berakhir ketika MK melalui putusan Nomor 93/PUU-X/2012
tanggal 29 Agustus 2013 memutuskan bahwa satu-satunya lembaga peradilan yang
berhak menangani sengketa perbankan syari’ah adalah peradilan agama.
Dengan keluarnya
putusan MK tersebut, diperkirakan perkara ekonomi syari’ah yang masuk ke
pengadilan agama akan meningkat. Lalu, apakah putusan MK yang baru terbit itu
betul-betul meniadakan gesekan-gesekan kewenangan dalam menangani sengketa
ekonomi syari’ah antara peradilan agama dengan peradilan umum? Apakah setelah
terbitnya Putusan MK itu masih terdapat disharmonisasi atau bahkan
inkonsistensi dalam peraturan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa
ekonomi syariah? Dalam kerangka itulah tulisan ini akan mencoba mendiskusikan
persoalan-persoalan tersebut.
II.
Sengketa
Ekonomi Syari’ah
A. Definisi Sengketa Ekonomi Syari’ah
Untuk memahami definisi sengketa
ekonomi syari’ah, maka kita perlu terlebih dahulu memahami dua bagian penting
dalam istilah sengketa ekonomi syari’ah, yaitu “sengketa” dan “ekonomi
syari’ah”.
Kata “sengketa” dalam Kamus Hukum
diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak
atau lebih yang berselisih. Sedangkan sengketa yang masuk ke pengadilan biasa
disebut juga dengan perkara.[2]
Dari definisi ini, sengketa juga dapat dipahami sebagai perselisihan antara dua
pihak atau lebih karena munculnya suatu permasalahan yang menimbulkan perbedaan
pendapat dan kepentingan.
Sedangkan mengenai arti ekonomi
syari’ah, sebenarnya banyak definisi yang diberikan oleh para cendekiawan
muslim. Namun dalam tulisan ini, Penulis hanya akan mengutip definisi ekonomi
syari’ah sebagaimana yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Dalam kompilasi tersebut, yang dimaksud ekonomi syari’ah adalah usaha atau
kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang
berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang
bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip ekonomi syari’ah.[3]
Istilah ekonomi syari’ah sebenarnya hanya dikenal di Indonesia, sedangkan di
negara lain biasa disebut dengan istilah ekonomi Islam.[4]
Adapun jenis ekonomi syari’ah
sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006
adalah meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi
syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat
berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah,
pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan bisnis
syari’ah.[5]
Meskipun dalam penjelasan Pasal di
atas hanya disebut 11 jenis, namun hal itu tidak bermakna limitatif, tetapi
harus dilihat sebagai contoh. Karena jika dilihat jenis terakhir yang terdapat
dalam penjelasan pasal di atas ketika menyebut “bisnis syari’ah”, maka hal ini
berarti memasukkan bentuk-bentuk lain dari ekonomi syari’ah yang tidak dapat
atau belum dapat disebutkan ketika merumuskan pengertian ekonomi syari’ah dalam
Pasal 49 tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa sengketa ekonomi syari’ah adalah sengketa yang terjadi antara dua pihak
atau lebih yang terikat dalam akad ekonomi syari’ah. Sengketa tersebut dapat berupa
sengketa antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan
nasabahnya, seperti pihak Bank dengan Nasabah; sengketa antara sesama lembaga
keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah, seperti antara suatu bank syari’ah
dengan bank syari’ah yang lain; dan sengketa antara orang-orang yang beragama
Islam, yang dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa
perbuatan/kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip
syari’ah. Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk perkara
Permohonan Pernyataan Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping
itu juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak murni sebagai perkara
kepailitan).[6]
B. Penyebab Terjadinya Sengketa Ekonomi Syari’ah
Sungguh pun aktivitas ekonomi
syari’ah telah dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syari’ah,
namun dalam proses perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa
antara pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya
hak dan kewajiban secara wajar dan semestinya oleh pihak-pihak yang terkait.
Secara umum, penyebab terjadinya
sengketa ekonomi syari’ah adalah:
1.
Wanprestasi (cidera
janji).
Apabila
tuntutan berdasarkan wanprestasi, maka terlebih dahulu Tergugat dan
Penggugat terikat dalam suatu perjanjian. Dengan demikian pihak ketiga (bukan
sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti
kerugian dengan alasan wanprestasi.[7]
Di antara
contoh wanprestasi dalam akad ekonomi syari’ah adalah sebagai berikut:[8]
a.
Nasabah tidak melaksanakan kewajiban
pembayaran/pelunasan (harga sewa, harga beli, dan bagi hasil) tepat pada waktu
yang diperjanjikan sesuai dengan tanggal jatuh tempo atau jadwal angsuran yang
telah disepakati dalam akad antara pihak nasabah dengan bank.
b.
Dokumen atau keterangan yang
dimasukkan/disuruh masukkan ke dalam dokumen yang diserahkan nasabah kepada bank,
ternyata palsu, tidak sah, atau tidak benar.
2.
Perbuatan melawan hukum (onrechtsmatig
daad)
Tuntutan yang didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum tidak
perlu didahului dengan perjanjian antara penggugat dengan tergugat, sehingga
tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan setiap pihak yang dirugikan, walaupun
tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara penggugat dan tergugat. Dengan
demikian pihak ketiga dapat melakukan gugatan atas dasar Perbuatan Melawan
Hukum.
3.
Force majeur, yaitu
suatu keadaan dimana debitur tidak dapat memenuhi atau melaksanakan prestasinya
karena suatu keadaan diluar kemampuan manusia.[9]
Sengketa yang timbul karena Force majeur biasanya mengenai perselisihan apakah
suatu kejadian diakui sebagai Force majeur atau tidak oleh pihak lain, dan
biasanya syarat-syarat agar suatu keadaan diakui sebagai Force Majeure
dituangkan dalam akad, seperti ditetapkannya batasan waktu untuk pihak yang
terkena akibat langsung dari Force Majeur tersebut wajib memberitahukan secara
tertulis dengan melampirkan bukti-bukti dari Kepolisian/Instansi yang berwenang
kepada Pihak lainnya mengenai peristiwa Force Majeur tersebut dan jika terjadi
keterlambatan atau kelalaian para pihak untuk memberitahukan adanya Force
Majeur tersebut dalam batas waktu yang disepakati maka akan mengakibatkan tidak
diakuinya peristiwa tersebut sebagai Force Majeur oleh Pihak lain.
C. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah dapat ditempuh melalui jalur pengadilan dan jalur di luar
pengadilan.
Jalur
Pengadilan
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat dilakukan melalui jalur
pengadilan. Adapun pengadilan yang berwenang menerima, memeriksa, dan mengadili
perkara ekonomi syariah sesuai UU No. 3 Tahun 2006 adalah pengadilan agama.
Namun jika mengacu kepada UU NO. 21 Tahun 2008 maka pengadilan negeri juga
berwenang menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Keadaan ini terus berlanjut
dan baru berakhir setelah MK mengeluarkan putusan Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal
29 Agustus 2013. Dengan putusan MK tersebut maka pengadilan yang berwenang
menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah hanya pengadilan agama.
Jalur
di Luar Pengadilan
Upaya penyelesaian sengketa ekonomi
syariah melalui jalur di luar pengadilan, dapat ditempuh dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, mekanisme arbitrase.[10]
III.
Disharmonisasi
Beberapa Regulasi Yang Berakibat Pada Terjadinya Gesekan Kewenangan
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Meskipun UU Nomor 3 Tahun 2006 telah memberikan kewenangan menerima,
memeriksa, dan mengadili perkara ekonomi syariah kepada pengadilan agama, namun
sepanjang perjalanannya sejak keluarnya undang-undang tersebut, masih terdapat
gesekan kewenangan antara pengadilan agama dengan pengadilan negeri. Gesekan
kewenangan tersebut merupakan dampak dari ketidakharmonisan antara UU Nomor 3
Tahun 2006 dengan beberapa Undang-Undang yang lain terkait dengan penyelesaian
sengketa ekonomi syariah.
Sepanjang pengamatan Penulis dari berbagai sumber, paling tidak ada empat
gesekan dalam persoalan kewenangan mengadili sengketa ekonomi syariah, yang
kesemuanya itu merupakan akibat dari adanya disharmonisasi antara Pasal 49
huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan beberapa Undang-Undang yang lain.
Keempat gesekan kewenangan tersebut meliputi:
1.
Gesekan kewenangan dalam perkara sengketa perbankan syari’ah antara
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama yang merupakan bentuk ketidakharmonisan
antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal
55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008;
2.
Gesekan kewenangan dalam mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas,
yang merupakan bentuk ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3
Tahun 2006 dengan Pasal 61 dan Pasal 72 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999;
3.
Gesekan kewenangan dalam mengeksekusi atau membatalkan putusan BPSK, yang
merupakan bentuk ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun
2006 dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun 1999; dan
4.
Gesekan kewenangan dalam permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang (KPPU), yang merupakan bentuk ketidakharmonisan antara Pasal
49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 37 Tahun
2004.
Untuk gesekan kewenangan dalam perkara sengketa perbankan syari’ah antara
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama telah selesai dengan terbitnya putusan
MK Nomor 93/PUU-X/2012 yang mengukuhkan bahwa kewenangan mengadili sengketa
ekonomi syari’ah adalah kewenangan absolut Pengadilan Agama bukan Pengadilan
Negeri. Oleh karena itu sudah banyak putusan-putusan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Negeri yang menyatakan tidak berwenang menangani sengketa ekonomi
syari’ah, di antaranya adalah Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor
16/Pdt.G/2014/PN.Tsm Tanggal 09 Juni 2014 dalam perkara sengketa ekonomi
syari’ah yang diajukan oleh Rizali Noor sebagai penggugat PT Bank Tabungan
Negara (persero) sebagai tergugat.
Sedangkan gesekan dalam tiga hal yang lain, yaitu kewenangan dalam
mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas, BPSK, dan pengajuan permohonan
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, masih belum terselesaikan
hingga saat ini.
A. Disharmonisasi antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3
Tahun 2006 dengan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008
Gesekan kewenangan
antara peradilan agama dan peradilan umum dalam menangani sengketa ekonomi
syari’ah terjadi dalam kurun waktu tahun 2006 hingga tahun 2013, tepatnya sejak
diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2006 hingga terbitnya Putusan MK Nomor
93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013. Dalam kurun waktu tersebut, baik
peradilan agama maupun peradilan umum sama-sama berhak menerima, memeriksa, dan
memutus perkara ekonomi syari’ah.[11]
Gesekan kewenangan di
atas sesungguhnya terjadi karena adanya kontradiksi antara UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah
dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
peradilan agama. Kontradiksi tersebut tercermin dalam disharmonisasi antara Pasal
55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 yang memberikan kewenangan mengadili perkara
ekonomi syari’ah kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Sementara
pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan secara tegas bahwa
peradilan agama diberikan kewenangan untuk menangani perkara ekonomi syari’ah.
Oleh karena itu, dengan
terbitnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 maka Pasal 55
ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Konskuensi logis dari batalnya Pasal 55 ayat (2) tersebut
adalah bahwa satu-satunya lembaga peradilan yang berhak menangani sengketa
perbankan syari’ah ialah pengadilan di lingkungan peradilan agama.
B. Disharmonisasi antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3
Tahun 2006 dengan Pasal 61 dan Pasal 72 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999
Meski putusan MK Nomor
93/PUU-X/2012 telah mengakhiri dualisme kewenangan antara peradilan agama dan
peradilan umum dalam menangani sengketa perbankan syari’ah, namun sesungguhnya
masih ada gesekan kewenangan antara peradilan agama dan peradilan umum dalam
hal perkara kewenangan menerima permohonan penetapan eksekusi atau pembatalan
putusan Basyarnas.
Pada dasarnya Basyarnas
merupakan lembaga arbitrase yang berperan menyelesaikan sengketa antara
pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syari’ah di luar jalur
pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik, ketika upaya musyawarah
tidak menghasilkan mufakat.[12]
Persoalan mulai muncul
pada saat salah satu pihak hendak mengajukan permohonan penetapan eksekusi atau
pembatalan putusan Basyarnas, kepada pengadilan manakah permohonan itu
diajukan? Kalau mengacu kepada Pasal 61 dan 72 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa[13],
maka permohonan mengeksekusi dan membatalkan putusan lembaga arbitrase diajukan
ke pengadilan negeri. Sementara itu, kalau mengacu kepada Pasal 49 huruf (i) UU
Nomor 3 Tahun 2006, meski di sana tidak di atur secara eksplisit tentang
putusan arbitrase, maka sengketa berbagai bidang ekonomi syari’ah diselesaikan
di pengadilan agama. Jadi, gesekan kewenangan dalam menangani perkara penetapan
eksekusi atau pembatalan putusan basyarnas adalah wujud adanya konflik antara UU
Nomor 30 Tahun 1999 dengan UU Nomor 3 Tahun 2006.[14]
C. Disharmonisasi antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3
Tahun 2006 dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun 1999
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) sesuai UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (atau
disingkat UUPK), merupakan lembaga yang berwenang menangani sengketa antara
konsumen dengan produsen. Meskipun Pasal 54 Ayat (3) UUPK menegaskan bahwa
putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat, namun para pihak dapat
mengajukan keberatan terhadap kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja setelah pemberitahuan putusan BPSK.
Kalau kita simak rincian tugas dan
wewenang BPSK yang ditentukan pada Pasal 52 UUPK, ternyata BPSK tidak memiliki
wewenang untuk melaksanakan putusannya, sebagaimana wewenang yang dimiliki oleh
suatu badan peradilan. BPSK hanya memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya
kerugian di pihak konsumen, dan wewenang menentukan besarnya ganti kerugian
yang harus dibayar oleh pelaku usaha dan mewajibkan pelaku usaha untuk membayar
ganti kerugian kepada konsumen, tetapi BPSK tidak diberikan kewenangan untuk
melaksanakan sendiri putusan yang dihasilkan. Untuk melaksanakan putusannya,
BPSK harus lebih dahulu meminta penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri
berdasarkan ketentuan Pasal 57 UUPK.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa berdasar UUPK maka kewenangan mengeksekusi atau membatalkan putusan BPSK
ada pada pengadilan negeri. Yang menjadi persoalan kemudian adalah apabila hal
yang diputuskan BPSK menyangkut sengketa konsumen dan produsen yang terikat
dalam akad ekonomi syari’ah, apakah permohonan penetapan eksekusi atau
pembatalan putusan BPSK tersebut juga harus diajukan ke pengadilan negeri atau
ke pengadilan agama. Senada dengan kasus eksekusi atau pembatalan putusan
basyarnas pada uraian terdahulu, kalau mengacu kepada Pasal 49 huruf (i) UU
Nomor 3 tahun 2006 maka seharusnya diajukan kepada pengadilan agama. Namun
kalau mengacu kepada Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 UUPK[15]
maka diajukan ke pengadilan negeri. Oleh karena itu, gesekan kewenangan dalam
penetapan eksekusi atau pembatalan putusan BPSK sampai saat ini masih mungkin
terjadi.
D. Disharmonisasi antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3
Tahun 2006 dengan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 37 Tahun 2004
Di antara bagian dari
sengketa dalam bidang ekonomi syariah adalah sengketa yang melibatkan salah
satu pihaknya terjebak dalam keadaan pailit atau memerlukan penangguhan
kewajiban pembayaran utang.
Sejauh ini,
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tidak menjelaskan secara eksplisit tentang
perkara kepailitan, namun hanya menjelaskan bahwa pengadilan agama berwenang
menangani perkara ekonomi syari’ah. Oleh karena itu dalam hal ini masih timbul
kerancuan tentang siapakah yang berwenang mengadili perkara kepailitan dalam
sengketa ekonomi syariah. Sebab, berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.
37 Tahun 2004, pengadilan yang berwenang menangani permohonan pernyataan pailit
dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah pengadilan niaga pada
pengadilan negeri.
Dengan mengkaji
berbagai sumber yang ada, salah satu solusi yang muncul dalam mengatasi
kerancuan kewenangan dalam menangani kepailitan dalam bidang ekonomi syari’ah
adalah perlunya dibentuk pengadilan niaga syariah di pengadilan agama. Tujuan
dibentuknya pengadilan niaga syariah tersebut adalah untuk menghindari
pertentangan dengan UU No. 37 Tahun 2004. Namun persoalan kemudian muncul
ketika pengadilan agama di dalamnya terdapat pengadilan niaga syariah, apa
payung hukumnya? dan fasilitas ruangan untuk dewan kurator juga perlu
disediakan dalam pengadilan tersebut sebagaimana yang ada dalam pengadilan
niaga pada pengadilan negeri. Oleh karena itu, gesekan kewenangan dalam perkara
kepailitan dalam bidang ekonomi syari’ah antara pengadilan agama dan pengadilan
niaga pada pengadilan negeri sampai saat ini masih mungkin terjadi.
IV. Penutup
Dari paparan di atas
terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Terbitnya
Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 Tanggal 29 Agustus 2013 telah meniadakan gesekan
kewenangan dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah antara peradilan agama
dengan peradilan umum. Dengan terbitnya
Putusan MK tersebut, maka ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor
3 Tahun 2006 dengan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 telah dapat
diselesaikan dengan penegasan bahwa
kewenangan menangani perkara ekonomi syari’ah adalah wewenang absolut peradilan
agama, bukan peradilan umum.
2. Setelah
terbitnya Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 Tanggal 29 Agustus 2013, ternyata masih
menyisakan disharmonisasi atau bahkan inkonsistensi dalam peraturan yang
berkaitan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, yaitu adanya :
a. ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor
3 Tahun 2006 dengan Pasal 61 dan Pasal 72 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999, yang
menimbulkan gesekan kewenangan dalam mengeksekusi atau membatalkan putusan
basyarnas;
b. ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor
3 Tahun 2006 dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun 1999, yang
menimbulkan gesekan kewenangan dalam mengeksekusi atau membatalkan putusan
BPSK;
c. ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor
3 Tahun 2006 dengan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 37 Tahun 2004, yang menimbulkan
gesekan kewenangan dalam permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang (KPPU).
Berdasarkan
pembahasan di atas, penulis ingin menyampaikan saran sebagai berikut:
1.
Mengusulkan kepada
Pemerintah Republik Indonesia untuk memperbaharui undang-undang berkaitan
dengan ekonomi syari’ah agar tidak ada lagi gesekan kewenangan dalam penanganan
sengketa ekonomi syari’ah yang diakibatkan oleh disharmonisasi antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun
2006 dengan Pasal 61 dan Pasal 72 ayat
(2) UU Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun
1999, serta Pasal 1 angka 7 UU Nomor 37 Tahun 2004, agar tidak menimbulkan
ketidakpastian hukum.
2.
Mengusulkan kepada para penegak hukum yang menangani sengketa ekonomi
syari’ah agar berhati-hati dalam menyikapi ketidakharmonisan di antara Undang-Undang
yang ada mengenai sengketa ekonomi syari’ah.
Daftar
Pustaka
Majalah
Peradilan Agama, Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014, Jakarta
Mujahidin, Ahmad, 2010, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia.
Parerungan, Sofian, 2014, Tanggung
Jawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Cacat Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, Majalah Hukum Varia Peradilan, (Tahun XXIX
No. 340 Maret 2014).
Soekanto, Soerjono, 1986,
Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung: Alumni.
Sudarsono,
2007, Kamus Hukum, cet.ke V, Jakarta : Rineka Cipta.
Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
[1] Wawancara Ekslusif dalam Majalah
Peradilan Agama, (Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014), hlm 50.
[2] Sudarsono, Kamus Hukum,
Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 433.
[3] Pasal 1 angka 1 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah.
[4]
http://adisuhendra.blog.com/2011/09/01/pengertian-ekonomi-syariah-dan-perbankan-syariah.
[5] UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[6] Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syari’ah di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 41-43.
[7] Sofian Parerungan, “Tanggung
Jawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Cacat Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen”, Majalah Hukum Varia Peradilan, (Tahun XXIX No.
340 Maret 2014), hlm 80.
[9] Ibid.
[10] Upaya penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah secara terinci disebut dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 10 UU
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal
1 angka 1 menyebut : “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Sedangkan Pasal 1 angka 10
menyebut: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli”.
[11] Berdasarkan data yang berhasil
dihimpun oleh tim redaktur Majalah Peradilan Agama, beberapa perkara ekonomi
syari’ah yang masih ditangani oleh peradilan umum dalam rentang waktu antara
tahun 2006 – 2013 di antaranya adalah perkara Nomor 89/Pdt.G/2011 /PN. Ska
antara Bank Syari’ah Mandiri dan nasabahnya di PN Surakarta; perkara Nomor
10/Pdt.G/2009/PN.Bjm di PN Banjarmasin yang melibatkan Bank Muamalat sebagai
tergugat; perkara Nomor 08/Pdt.G./2012/PN.Pkl di PN Pekalongan yang mendudukkan
Bank Mega Syari’ah sebagai tergugat; perkara Nomor 40/Pdt.G/2011/PN.Smda di PN
Samarinda di mana Bank Kaltim Syari’ah menjadi tergugat; perkara nomor
47/Pdt.G/2013/PN Klt di PN Klaten yang menjadikan BRI Syari’ah sebagai
tergugat; perkara nomor 50/Pdt.G/2009/PN.Bgr di PN Bogor yang mendudukkan
Koperasi Simpan Pinjam Dana Niaga Syari’ah Cabang Bogor sebagai tergugat. Lihat
Majalah Peradilan Agama Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014, rubrik Liputan Khusus, halaman
16.
[12] Lihat Majalah Peradilan Agama
Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014, halaman 17 rubrik Liputan Khusus.
[13] Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999
berbunyi: “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara
sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri
atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.” Dan Pasal 72 ayat (2) dari
UU tersebut berbunyi: “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri.”
[14] Kerancuan kewenangan di atas,
direspon oleh Mahkamah Agung dengan dua kali menerbitkan SEMA, yaitu SEMA Nomor
8 Tahun 2008 dan SEMA Nomor 8 Tahun 2010. Bedanya kalau SEMA Nomor 8 Tahun 2008
memberikan kewenangan mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas kepada
pengadilan agama. Sedangkan SEMA Nomor 8 Tahun 2010 justru mengubah ketentuan
dalam SEMA Nomor 8 Tahun 2008 dengan memberikan kewenangan mengeksekusi atau
membatalkan putusan basyarnas pada pengadilan negeri.
[15] Pasal 56 ayat (2) UUPK berbunyi:
“Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat
14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut”.
Dan Pasal 57 UUPK berbunyi: “Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat
konsumen yang dirugikan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar