Senin, 02 Januari 2017

Disharmonisasi Undang-Undang Yang Berkaitan Dengan Penanganan Sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan



Disharmonisasi Undang-Undang Yang Berkaitan Dengan Penanganan Sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan
Penulis :
H. Abdul Halim M. Sholeh, Lc., M.Ec., M.H.
Drs. H. Nanang Naisabur, M.H.

Abstrak
Pesatnya pertumbuhan aset ekonomi syari’ah di Indonesia menimbulkan konskuensi logis bagi meningkatnya sengketa ekonomi syari’ah. Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui jalur pengadilan merupakan wewenang absolut pengadilan agama. Hal ini dikukuhkan dengan UU No. 3/2006 dan Putusan MK No. 93/PUU-X/2012. Namun disisi lain masih terdapat gesekan kewenangan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam menengani sengketa ekonomi syari’ah yang ditimbulkan dari adanya ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan  Pasal 61 dan Pasal 72 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun 1999, serta Pasal 1 angka 7 UU Nomor 37 Tahun 2004, yang sampai saat ini masih belum terselesaikan sehingga masih menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kata kunci : sengketa ekonomi syari’ah, ketidakharmonisan, pengadilan agama, pengadilan negeri
 
I.         Pendahuluan
Sistem ekonomi syari’ah dengan berbagai bentuknya, di antaranya perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya, telah mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal tersebut merupakan efek positif dari telah terbuktinya sistem perbankan syari’ah ketika dihadapkan dengan krisis moneter dipelbagai belahan dunia pada era tahun 1990-an sehingga animo masyarakat dunia terhadap penerapan sistem ekonomi syari’ah semakin meningkat.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Bahkan dalam kurun waktu tiga puluh tahunan aset lembaga keuangan syari’ah di Indonesia per Oktober 2013 saja sudah mencapai Rp. 229.56 trilyun[1] . Pertumbuhan aset tersebut juga diiringi dengan pertumbuhan jumlah nasabah dan jumlah kelembagaan keuangan syari’ah di Indonesia. Dapat difahami dengan banyaknya jumlah nasabah dan jumlah kelembagaan keuangan syari’ah ini maka kemungkinan timbulnya sengketa di antara mereka juga makin besar. Selain dari sektor perbankan syari’ah, sengketa ekonomi syari’ah juga dapat muncul dari sektor non perbankan syari’ah, seperti antar individu yang sedang terikat kontrak ekonomi syari’ah.
Banyaknya sengketa ekonomi syari’ah ini perlu ada lembaga yang dapat dijadikan rujukan untuk menyelesaikannya. Penyelesaian itu sendiri dapat melalui jalur non litigasi seperti musyawarah dan mediasi perbankan, serta melalui jalur litigasi yaitu melalui arbitrase dan lembaga peradilan.
Terbitnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah memberikan wewenang baru bagi lembaga Peradilan Agama yaitu kewenangan menangani sengketa ekonomi syari’ah. Namun setelah UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah terbit, maka timbul disharmonisasi antara Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 dengan Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 yang berdampak pada terjadinya dualisme kewenangan dalam menangani sengketa perbankan syari’ah, yaitu peradilan agama dan peradilan umum sama-sama berhak menerima, memeriksa, dan memutus perkara sengketa perbankan syari’ah.
Kemudian, dualisme kewenangan tersebut berakhir ketika MK melalui putusan Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 memutuskan bahwa satu-satunya lembaga peradilan yang berhak menangani sengketa perbankan syari’ah adalah peradilan agama.
Dengan keluarnya putusan MK tersebut, diperkirakan perkara ekonomi syari’ah yang masuk ke pengadilan agama akan meningkat. Lalu, apakah putusan MK yang baru terbit itu betul-betul meniadakan gesekan-gesekan kewenangan dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah antara peradilan agama dengan peradilan umum? Apakah setelah terbitnya Putusan MK itu masih terdapat disharmonisasi atau bahkan inkonsistensi dalam peraturan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah? Dalam kerangka itulah tulisan ini akan mencoba mendiskusikan persoalan-persoalan tersebut.
II.      Sengketa Ekonomi Syari’ah
A.    Definisi Sengketa Ekonomi Syari’ah
Untuk memahami definisi sengketa ekonomi syari’ah, maka kita perlu terlebih dahulu memahami dua bagian penting dalam istilah sengketa ekonomi syari’ah, yaitu “sengketa” dan “ekonomi syari’ah”.
Kata “sengketa” dalam Kamus Hukum diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih. Sedangkan sengketa yang masuk ke pengadilan biasa disebut juga dengan perkara.[2] Dari definisi ini, sengketa juga dapat dipahami sebagai perselisihan antara dua pihak atau lebih karena munculnya suatu permasalahan yang menimbulkan perbedaan pendapat dan kepentingan.
Sedangkan mengenai arti ekonomi syari’ah, sebenarnya banyak definisi yang diberikan oleh para cendekiawan muslim. Namun dalam tulisan ini, Penulis hanya akan mengutip definisi ekonomi syari’ah sebagaimana yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Dalam kompilasi tersebut, yang dimaksud ekonomi syari’ah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip ekonomi syari’ah.[3] Istilah ekonomi syari’ah sebenarnya hanya dikenal di Indonesia, sedangkan di negara lain biasa disebut dengan istilah ekonomi Islam.[4]
Adapun jenis ekonomi syari’ah sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 adalah meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan bisnis syari’ah.[5]
Meskipun dalam penjelasan Pasal di atas hanya disebut 11 jenis, namun hal itu tidak bermakna limitatif, tetapi harus dilihat sebagai contoh. Karena jika dilihat jenis terakhir yang terdapat dalam penjelasan pasal di atas ketika menyebut “bisnis syari’ah”, maka hal ini berarti memasukkan bentuk-bentuk lain dari ekonomi syari’ah yang tidak dapat atau belum dapat disebutkan ketika merumuskan pengertian ekonomi syari’ah dalam Pasal 49 tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sengketa ekonomi syari’ah adalah sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang terikat dalam akad ekonomi syari’ah. Sengketa tersebut dapat berupa sengketa antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah dengan nasabahnya, seperti pihak Bank dengan Nasabah; sengketa antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah, seperti antara suatu bank syari’ah dengan bank syari’ah yang lain; dan sengketa antara orang-orang yang beragama Islam, yang dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa perbuatan/kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Sengketa ekonomi syari’ah juga bisa dalam bentuk perkara Permohonan Pernyataan Pailit (PPP) dan juga bisa berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di bidang ekonomi syari’ah, di samping itu juga perkara derivatif kepailitan (perkara tidak murni sebagai perkara kepailitan).[6]

B.     Penyebab Terjadinya Sengketa Ekonomi Syari’ah
Sungguh pun aktivitas ekonomi syari’ah telah dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syari’ah, namun dalam proses perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban secara wajar dan semestinya oleh pihak-pihak yang terkait.
Secara umum, penyebab terjadinya sengketa ekonomi syari’ah adalah:
1.    Wanprestasi (cidera janji).
Apabila tuntutan berdasarkan wanprestasi, maka terlebih dahulu Tergugat dan Penggugat terikat dalam suatu perjanjian. Dengan demikian pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.[7]
Di antara contoh wanprestasi dalam akad ekonomi syari’ah adalah sebagai berikut:[8]
a.       Nasabah tidak melaksanakan kewajiban pembayaran/pelunasan (harga sewa, harga beli, dan bagi hasil) tepat pada waktu yang diperjanjikan sesuai dengan tanggal jatuh tempo atau jadwal angsuran yang telah disepakati dalam akad antara pihak nasabah dengan bank.
b.      Dokumen atau keterangan yang dimasukkan/disuruh masukkan ke dalam dokumen yang diserahkan nasabah kepada bank, ternyata palsu, tidak sah, atau tidak benar.
2.    Perbuatan melawan hukum (onrechtsmatig daad)
Tuntutan yang didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara penggugat dengan tergugat, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara penggugat dan tergugat. Dengan demikian pihak ketiga dapat melakukan gugatan atas dasar Perbuatan Melawan Hukum.
3.    Force majeur, yaitu suatu keadaan dimana debitur tidak dapat memenuhi atau melaksanakan prestasinya karena suatu keadaan diluar kemampuan manusia.[9] Sengketa yang timbul karena Force majeur biasanya mengenai perselisihan apakah suatu kejadian diakui sebagai Force majeur atau tidak oleh pihak lain, dan biasanya syarat-syarat agar suatu keadaan diakui sebagai Force Majeure dituangkan dalam akad, seperti ditetapkannya batasan waktu untuk pihak yang terkena akibat langsung dari Force Majeur tersebut wajib memberitahukan secara tertulis dengan melampirkan bukti-bukti dari Kepolisian/Instansi yang berwenang kepada Pihak lainnya mengenai peristiwa Force Majeur tersebut dan jika terjadi keterlambatan atau kelalaian para pihak untuk memberitahukan adanya Force Majeur tersebut dalam batas waktu yang disepakati maka akan mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut sebagai Force Majeur oleh Pihak lain.
C.    Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dapat ditempuh melalui jalur pengadilan dan jalur di luar pengadilan.
Jalur Pengadilan
Penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat dilakukan melalui jalur pengadilan. Adapun pengadilan yang berwenang menerima, memeriksa, dan mengadili perkara ekonomi syariah sesuai UU No. 3 Tahun 2006 adalah pengadilan agama. Namun jika mengacu kepada UU NO. 21 Tahun 2008 maka pengadilan negeri juga berwenang menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Keadaan ini terus berlanjut dan baru berakhir setelah MK mengeluarkan putusan Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013. Dengan putusan MK tersebut maka pengadilan yang berwenang menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah hanya pengadilan agama.
Jalur di Luar Pengadilan
Upaya penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui jalur di luar pengadilan, dapat ditempuh dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, mekanisme arbitrase.[10]
III.   Disharmonisasi Beberapa Regulasi Yang Berakibat Pada Terjadinya Gesekan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Meskipun UU Nomor 3 Tahun 2006 telah memberikan kewenangan menerima, memeriksa, dan mengadili perkara ekonomi syariah kepada pengadilan agama, namun sepanjang perjalanannya sejak keluarnya undang-undang tersebut, masih terdapat gesekan kewenangan antara pengadilan agama dengan pengadilan negeri. Gesekan kewenangan tersebut merupakan dampak dari ketidakharmonisan antara UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan beberapa Undang-Undang yang lain terkait dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Sepanjang pengamatan Penulis dari berbagai sumber, paling tidak ada empat gesekan dalam persoalan kewenangan mengadili sengketa ekonomi syariah, yang kesemuanya itu merupakan akibat dari adanya disharmonisasi antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan beberapa Undang-Undang yang lain. Keempat gesekan kewenangan tersebut meliputi:
1.    Gesekan kewenangan dalam perkara sengketa perbankan syari’ah antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama yang merupakan bentuk ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008;
2.    Gesekan kewenangan dalam mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas, yang merupakan bentuk ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 61 dan Pasal 72 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999;
3.    Gesekan kewenangan dalam mengeksekusi atau membatalkan putusan BPSK, yang merupakan bentuk ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun 1999; dan
4.    Gesekan kewenangan dalam permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (KPPU), yang merupakan bentuk ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 37 Tahun 2004.
Untuk gesekan kewenangan dalam perkara sengketa perbankan syari’ah antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama telah selesai dengan terbitnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 yang mengukuhkan bahwa kewenangan mengadili sengketa ekonomi syari’ah adalah kewenangan absolut Pengadilan Agama bukan Pengadilan Negeri. Oleh karena itu sudah banyak putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri yang menyatakan tidak berwenang menangani sengketa ekonomi syari’ah, di antaranya adalah Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 16/Pdt.G/2014/PN.Tsm Tanggal 09 Juni 2014 dalam perkara sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan oleh Rizali Noor sebagai penggugat PT Bank Tabungan Negara (persero) sebagai tergugat.
Sedangkan gesekan dalam tiga hal yang lain, yaitu kewenangan dalam mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas, BPSK, dan pengajuan permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, masih belum terselesaikan hingga saat ini.
A.    Disharmonisasi antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008
Gesekan kewenangan antara peradilan agama dan peradilan umum dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah terjadi dalam kurun waktu tahun 2006 hingga tahun 2013, tepatnya sejak diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2006 hingga terbitnya Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013. Dalam kurun waktu tersebut, baik peradilan agama maupun peradilan umum sama-sama berhak menerima, memeriksa, dan memutus perkara ekonomi syari’ah.[11]
Gesekan kewenangan di atas sesungguhnya terjadi karena adanya kontradiksi antara UU Nomor  21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama. Kontradiksi tersebut tercermin dalam disharmonisasi antara Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 yang memberikan kewenangan mengadili perkara ekonomi syari’ah kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Sementara pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 menyatakan secara tegas bahwa peradilan agama diberikan kewenangan untuk menangani perkara ekonomi syari’ah.
Oleh karena itu, dengan terbitnya putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 maka Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Konskuensi logis dari batalnya Pasal 55 ayat (2) tersebut adalah bahwa satu-satunya lembaga peradilan yang berhak menangani sengketa perbankan syari’ah ialah pengadilan di lingkungan peradilan agama.
B.     Disharmonisasi antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 61 dan Pasal 72 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999
Meski putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 telah mengakhiri dualisme kewenangan antara peradilan agama dan peradilan umum dalam menangani sengketa perbankan syari’ah, namun sesungguhnya masih ada gesekan kewenangan antara peradilan agama dan peradilan umum dalam hal perkara kewenangan menerima permohonan penetapan eksekusi atau pembatalan putusan Basyarnas.
Pada dasarnya Basyarnas merupakan lembaga arbitrase yang berperan menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syari’ah di luar jalur pengadilan untuk mencapai penyelesaian terbaik, ketika upaya musyawarah tidak menghasilkan mufakat.[12]
Persoalan mulai muncul pada saat salah satu pihak hendak mengajukan permohonan penetapan eksekusi atau pembatalan putusan Basyarnas, kepada pengadilan manakah permohonan itu diajukan? Kalau mengacu kepada Pasal 61 dan 72 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa[13], maka permohonan mengeksekusi dan membatalkan putusan lembaga arbitrase diajukan ke pengadilan negeri. Sementara itu, kalau mengacu kepada Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006, meski di sana tidak di atur secara eksplisit tentang putusan arbitrase, maka sengketa berbagai bidang ekonomi syari’ah diselesaikan di pengadilan agama. Jadi, gesekan kewenangan dalam menangani perkara penetapan eksekusi atau pembatalan putusan basyarnas adalah wujud adanya konflik antara UU Nomor 30 Tahun 1999 dengan UU Nomor 3 Tahun 2006.[14]
C.     Disharmonisasi antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun 1999
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sesuai UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (atau disingkat UUPK), merupakan lembaga yang berwenang menangani sengketa antara konsumen dengan produsen. Meskipun Pasal 54 Ayat (3) UUPK menegaskan bahwa putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat, namun para pihak dapat mengajukan keberatan terhadap kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah pemberitahuan putusan BPSK.
Kalau kita simak rincian tugas dan wewenang BPSK yang ditentukan pada Pasal 52 UUPK, ternyata BPSK tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan putusannya, sebagaimana wewenang yang dimiliki oleh suatu badan peradilan. BPSK hanya memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen, dan wewenang menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar oleh pelaku usaha dan mewajibkan pelaku usaha untuk membayar ganti kerugian kepada konsumen, tetapi BPSK tidak diberikan kewenangan untuk melaksanakan sendiri putusan yang dihasilkan. Untuk melaksanakan putusannya, BPSK harus lebih dahulu meminta penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri berdasarkan ketentuan Pasal 57 UUPK.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasar UUPK maka kewenangan mengeksekusi atau membatalkan putusan BPSK ada pada pengadilan negeri. Yang menjadi persoalan kemudian adalah apabila hal yang diputuskan BPSK menyangkut sengketa konsumen dan produsen yang terikat dalam akad ekonomi syari’ah, apakah permohonan penetapan eksekusi atau pembatalan putusan BPSK tersebut juga harus diajukan ke pengadilan negeri atau ke pengadilan agama. Senada dengan kasus eksekusi atau pembatalan putusan basyarnas pada uraian terdahulu, kalau mengacu kepada Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 tahun 2006 maka seharusnya diajukan kepada pengadilan agama. Namun kalau mengacu kepada Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 UUPK[15] maka diajukan ke pengadilan negeri. Oleh karena itu, gesekan kewenangan dalam penetapan eksekusi atau pembatalan putusan BPSK sampai saat ini masih mungkin terjadi.
D.    Disharmonisasi antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 37 Tahun 2004
Di antara bagian dari sengketa dalam bidang ekonomi syariah adalah sengketa yang melibatkan salah satu pihaknya terjebak dalam keadaan pailit atau memerlukan penangguhan kewajiban pembayaran utang.
Sejauh ini, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tidak menjelaskan secara eksplisit tentang perkara kepailitan, namun hanya menjelaskan bahwa pengadilan agama berwenang menangani perkara ekonomi syari’ah. Oleh karena itu dalam hal ini masih timbul kerancuan tentang siapakah yang berwenang mengadili perkara kepailitan dalam sengketa ekonomi syariah. Sebab, berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, pengadilan yang berwenang menangani permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah pengadilan niaga pada pengadilan negeri.
Dengan mengkaji berbagai sumber yang ada, salah satu solusi yang muncul dalam mengatasi kerancuan kewenangan dalam menangani kepailitan dalam bidang ekonomi syari’ah adalah perlunya dibentuk pengadilan niaga syariah di pengadilan agama. Tujuan dibentuknya pengadilan niaga syariah tersebut adalah untuk menghindari pertentangan dengan UU No. 37 Tahun 2004. Namun persoalan kemudian muncul ketika pengadilan agama di dalamnya terdapat pengadilan niaga syariah, apa payung hukumnya? dan fasilitas ruangan untuk dewan kurator juga perlu disediakan dalam pengadilan tersebut sebagaimana yang ada dalam pengadilan niaga pada pengadilan negeri. Oleh karena itu, gesekan kewenangan dalam perkara kepailitan dalam bidang ekonomi syari’ah antara pengadilan agama dan pengadilan niaga pada pengadilan negeri sampai saat ini masih mungkin terjadi.
IV.   Penutup
Dari paparan di atas terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.    Terbitnya Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 Tanggal 29 Agustus 2013 telah meniadakan gesekan kewenangan dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah antara peradilan agama dengan peradilan umum. Dengan terbitnya Putusan MK tersebut, maka ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 telah dapat diselesaikan dengan penegasan bahwa kewenangan menangani perkara ekonomi syari’ah adalah wewenang absolut peradilan agama, bukan peradilan umum.
2.    Setelah terbitnya Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 Tanggal 29 Agustus 2013, ternyata masih menyisakan disharmonisasi atau bahkan inkonsistensi dalam peraturan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, yaitu adanya :
a.       ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 61 dan Pasal 72 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999, yang menimbulkan gesekan kewenangan dalam mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas;
b.      ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun 1999, yang menimbulkan gesekan kewenangan dalam mengeksekusi atau membatalkan putusan BPSK;
c.       ketidakharmonisan antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 37 Tahun 2004, yang menimbulkan gesekan kewenangan dalam permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (KPPU).
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis ingin menyampaikan saran sebagai berikut:
1.    Mengusulkan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk memperbaharui undang-undang berkaitan dengan ekonomi syari’ah agar tidak ada lagi gesekan kewenangan dalam penanganan sengketa ekonomi syari’ah yang diakibatkan oleh disharmonisasi antara Pasal 49 huruf (i) UU Nomor 3 Tahun 2006 dengan  Pasal 61 dan Pasal 72 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999, Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun 1999, serta Pasal 1 angka 7 UU Nomor 37 Tahun 2004, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.
2.    Mengusulkan kepada para penegak hukum yang menangani sengketa ekonomi syari’ah agar berhati-hati dalam menyikapi ketidakharmonisan di antara Undang-Undang yang ada mengenai sengketa ekonomi syari’ah.

Daftar Pustaka
Majalah Peradilan Agama, Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014, Jakarta
Mujahidin, Ahmad, 2010, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia.
Parerungan, Sofian, 2014, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Cacat Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Majalah Hukum Varia Peradilan, (Tahun XXIX No. 340 Maret 2014).
Soekanto, Soerjono, 1986, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Bandung: Alumni.
Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, cet.ke V, Jakarta : Rineka Cipta.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syari’ah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen




[1] Wawancara Ekslusif dalam Majalah Peradilan Agama, (Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014), hlm 50.
[2] Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 433.
[3] Pasal 1 angka 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
[4] http://adisuhendra.blog.com/2011/09/01/pengertian-ekonomi-syariah-dan-perbankan-syariah.
[5] UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
[6] Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 41-43.
[7] Sofian Parerungan, “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Produk Cacat Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, Majalah Hukum Varia Peradilan, (Tahun XXIX No. 340 Maret 2014), hlm 80.
[9] Ibid.
[10] Upaya penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah secara terinci disebut dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 10 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 angka 1 menyebut : “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Sedangkan Pasal 1 angka 10 menyebut: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.
[11] Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh tim redaktur Majalah Peradilan Agama, beberapa perkara ekonomi syari’ah yang masih ditangani oleh peradilan umum dalam rentang waktu antara tahun 2006 – 2013 di antaranya adalah perkara Nomor 89/Pdt.G/2011 /PN. Ska antara Bank Syari’ah Mandiri dan nasabahnya di PN Surakarta; perkara Nomor 10/Pdt.G/2009/PN.Bjm di PN Banjarmasin yang melibatkan Bank Muamalat sebagai tergugat; perkara Nomor 08/Pdt.G./2012/PN.Pkl di PN Pekalongan yang mendudukkan Bank Mega Syari’ah sebagai tergugat; perkara Nomor 40/Pdt.G/2011/PN.Smda di PN Samarinda di mana Bank Kaltim Syari’ah menjadi tergugat; perkara nomor 47/Pdt.G/2013/PN Klt di PN Klaten yang menjadikan BRI Syari’ah sebagai tergugat; perkara nomor 50/Pdt.G/2009/PN.Bgr di PN Bogor yang mendudukkan Koperasi Simpan Pinjam Dana Niaga Syari’ah Cabang Bogor sebagai tergugat. Lihat Majalah Peradilan Agama Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014, rubrik Liputan Khusus, halaman 16.
[12] Lihat Majalah Peradilan Agama Edisi 3 Des 2013 – Feb 2014, halaman 17 rubrik Liputan Khusus.
[13] Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999 berbunyi: “Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.” Dan Pasal 72 ayat (2) dari UU tersebut berbunyi: “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.”
[14] Kerancuan kewenangan di atas, direspon oleh Mahkamah Agung dengan dua kali menerbitkan SEMA, yaitu SEMA Nomor 8 Tahun 2008 dan SEMA Nomor 8 Tahun 2010. Bedanya kalau SEMA Nomor 8 Tahun 2008 memberikan kewenangan mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas kepada pengadilan agama. Sedangkan SEMA Nomor 8 Tahun 2010 justru mengubah ketentuan dalam SEMA Nomor 8 Tahun 2008 dengan memberikan kewenangan mengeksekusi atau membatalkan putusan basyarnas pada pengadilan negeri.
[15] Pasal 56 ayat (2) UUPK berbunyi: “Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut”. Dan Pasal 57 UUPK berbunyi: “Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar